Isra’ Mi’raj adalah suatu peristiwa besar yang
sekarang oleh sains dan teknologi diakui, karena ternyata memang demikianlah
yang bisa terjadi bahwa Rasulullah benar-benar bergerak dari Mekkah ke
Palestina, dan kemudian diteruskan ke Sidratil Muntaha hanya dalam waktu tidak
sampai satu malam. Sudut pandang ilmiahnya bahwa ini adalah peristiwa fenomenal
dan kontroversial.
Fenomenasejarah bahwa peristiwa ini belum pernah terjadi dan diyakini takkan pernah
terjadi lagi.
Pertama, bahwa peristiwa ini sangat fenomenal
dari segi sejarah, karena sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia. Sebelum
Nabi Muhammad memang pernah terjadi pada benda. Benda tersebut bisa berpindah
tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam orde sepersekian detik saja.
Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu Balqis dari Kerajaan Saba ke
Kerajaan Nabi Sulaiman. Waktu itu Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya
yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan olehnya. Nabi Sulaiman mengatakan
kepada para stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu Balqis yang
ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi Sulaiman. Ternyata Nabi
Sulaiman ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis ke kerajaannya. Nabi
Sulaiman bertanya kepada para stafnya siapa yang bisa melakukan hal
tersebut.
Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum puas akan hal tersebut.
Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum puas akan hal tersebut.
Kemudian Nabi
Sulaiman bertanya lagi kepada para stafnya siapa yang bisa lebih cepat
melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri kemudian ternyata adalah seorang
manusia, yaitu manusia yang menguasai ilmu dari al-Kitab. Orang itu kemudian
ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa melakukannya. Dijawab oleh orang
itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berkedip lagi. Ternyata
memang benar adanya, sebelum Nabi Sulaiman berkedip, singgasana Ratu Balqis
sudah berada di hadapannya. Satu kedipan mata berarti waktunya kurang dari satu
detik. Berkaitan dengan Isra’ Mi’raj, ternyata perjalanan Nabi Muhammad
tersebut terjadi dalam waktu tidak sampai satu kedipan mata pun.
Kedua,fenomenal dari segi sains. Untuk
menjelaskan Isra’ Mi’raj, ternyata kita harus menggali ilmu-ilmu mutakhir.
Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan peristiwa Isra’
Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi Muhammad melakukan
perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu kemudian ada yang
menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga yang menggambarkan
bahwa kepala buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga yang menggambarkan
kepala buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini tentunya khas abad
pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah dengan mengendarai
kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu digambarkanlah kuda itu
bersayap.
Dengan
pendekatan secara saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya perpindahan
Rasulullah dari satu tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’ Mi’raj itu
terjadi secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya kontroversial hampir
1500 tahun di kalangan agamawan maupun para saintis karena memang sulit
menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada juga yang
meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah hingga kini. Yang ragu-ragu sampai
sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Ketika
ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina itu dengan
badannya atau bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu hanya penglihatan saja. Ada
juga yang mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada yang mengatakan itu hanya
mimpi. Dan ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu memang dialami Nabi Muhammad
dengan badannya.
Yang meyakini
bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu dialami Nabi Muhammad dengan badannya adalah
mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq. Ketika itu Abu Bakar ditanya apakah dia
meyakini peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan oleh Abu Bakar kepada yang
bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut. Dijawab oleh yang bertanya
kepada Abu Bakar itu bahwa yang menceritakan hal tersebut adalah Nabi Muhammad.
Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka
ia meyakininya, karena Nabi Muhammad tak pernah berbohong.
Cara Abu Bakar
memersepsi mengenai Isra’ Mi’raj ini oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa
beragama itu tak perlu berpikir. Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika
itu Abu Bakar berpikir dahulu, karena ia menanyakan bahwa siapakah yang
menceritakan hal tersebut. Kalau memang Nabi Muhammad yang menceritakannya,
maka ia meyakini kebenaran yang diceritakan oleh Nabi Muhammad itu. Tapi kalau
yang menceritakannya bukan Nabi Muhammad tentunya Abu Bakar takkan langsung
meyakini kebenaran cerita tersebut. Jadi dalam beragama memang kita harus
berpikir, janganlah ikut-ikutan saja. Perintahnya sangat jelas di dalam
al-Quran: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 36)
Selama ini dalam menceritakan Isra’
Mi’raj kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah
menghendaki, maka semuanya bisa saja terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran
apa-apa dengan cara berpikir seperti ini. Padahal peristiwa apapun yang
diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190)
Kita
diperintahkan untuk menjadi ulil albab, yaitu orang yang menggunakan akalnya memahami
segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa tersebut.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Perjalanan
Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape: satu etape
mendatar (horisontal), sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit
ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama:
Maha Suci
Allah, yang telah memerjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1)
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11),
setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan
menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan
kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata
tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Pertama , ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”.
Kata “subhânallâh” diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita
menemui peristiwa yang menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa.
Artinya, dengan memulai cerita itu menggunakan kata “subhânalladzî”
sebenarnya Allah menginformasikan bahwa cerita yang akan diceritakan tersebut
bukanlah cerita yang biasa, melainkan cerita tersebut adalah cerita yang luar
biasa dan menakjubkan.
Kedua, aitu kata “asrâ”.
Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu
adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini mengcounter
pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut
Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan
itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas
kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa dilakukan
sendiri oleh Rasulullah.
Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang
artinya adalah hamba Allah. Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak
berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk
Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang
kualitasnya sembarangan, melainkan manusia yang kualitasnya sudah mencapai
tingkatan hamba Allah, yaitu manusia seperti Nabi Muhammad. Karena itulah, kita
mungkin tidak bisa menerima ketika Nabi Muhammad digambarkan mendapat perintah
salat 50 waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah. Anjuran
tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu
terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang
akhirnya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu
saja sehari semalam.
Kita mungkin
tak sampai hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat kepada Allah yang
tak pernah membantah kalau mendapat wahyu dan perintah dari Allah yang dalam
cerita versi ini digambarkan sampai sembilan kali tawar-menawar dengan Allah
untuk mengurangi jumlah salat fardu yang diperintah-Nya. Digambarkan pada
cerita versi ini bahwa Nabi Musa lebih superior dibandingkan Nabi Muhammad,
sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh Nabi Musa bolak-balik menemui Allah
memohon agar jumlah salat fardu yang diperintahkan Allah itu dikurangi.
Tentunya patut pula kita ingat bahwa Nabi Musa adalah nabinya bani Israil
(sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi Muhammad), tetapi orang-orang
bani Israil tidak mau menerima Nabi Muhammad. Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih
hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga dalam cerita versi ini Nabi Muhammad
dipingpong saja. Jadi ini indikasinya adalah hadis Israiliyat.
Keempat , yaitu kata “laylan” yang
artinya adalah perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menunjukkan sebagai
penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma
sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa
ketika Rasulullah berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian
menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih
hangat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan
rumahnya. Di hadis yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah
meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan
ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang
disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’
Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berlangsung dalam waktu yang sebentar dan
cepat.
Bayangkanlah,
perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi perjalanan yang hanya
sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin hanya beberapa
detik.
Kelima, minal masjidil harâmi ilal
masjidil aqsha (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan
Rasulullah ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau
dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari tempat yang bukan masjid
ke tempat lain yang bukan masjid juga)?
Patut diketahui, bahwa masjid adalah
tempat yang menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa
memfoto dan memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun
membaca al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang
benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun
stress, maka orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura
ini bertingkat, yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu,
sampai warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari
setiap aktivitas yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita
berada ketika itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan
terekam. Allah berfirman:
Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir. (Q.S. Qâf: 18)
Raqib dan Atid
kemudian dijadikan sebagai nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan
keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan suatu ketika akan
diputar lagi. Allah berfirman:
Sesungguhnya
kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu
tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Q.S. Qâf: 22)
Di pengadilan akhirat itu, manusia akan
bisa melihat seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia.
Masjid
mengandung energi positif sangat besar, terutama masjid yang sering digunakan
sebagai tempat beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin khusyuk,
maka energinya akan semakin besar. Rasulullah berangkat dari masjid menuju ke
masjid. Terminal keberangkatannya di masjid
Keenam, bâraknâ hawlahu (yang telah
Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini
karena perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi
tetap membaik
Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ (agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami). Dalam
perjalanan isra’ mi’raj ketika itu Rasulullah ditunjukkan berbagai peristiwa.
Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu adalah waktu yang sangat singkat.
Itulah yang disebut sebagai relativitas waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara
orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita
mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu
waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya
sebentar (mungkin hanya beberapa detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan.
Yang tertidur itu pun terbangun, lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi.
Ceritanya itu begitu panjang, seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia
hanya tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah, meskipun
perjalanan yang dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau
ditampakkan berbagai macam peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memberjalankan
Rasulullah adalah Allah yang tak lain adalah zat Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan
kepada Nabi Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat dan mendengar
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan
pada surah an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di
Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17)
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18)
Di dekat Sidratil Muntaha, Rasulullah
menyaksikan surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan
surga, karena sudut padangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia
tidak kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan
kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan surga,
namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air
dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga.
Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun
skalanya tak berhingga.
Lantas ke manakah Rasulullah melanglang
buana? Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratil Muntaha
yang kita tidak tahu di mana letaknya.
Betapa besarnya
langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah seluruh ruangan alam
semesta ini. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi tempat kita tinggal
adalah termasuk salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang
tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil. Ketika
matahari yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak lagi
menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang.
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang).
Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya.
Galaksi-galaksi
itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar
yang dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi.
Apakah supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga
kini belum ada yang mengetahuinya.
Jarak bumi ke
matahari adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu
8 menit. Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata
kita, maka cahaya yang sampai ke mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari
sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan
selama 8 menit barulah sampai ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha
Century) jaraknya dari bumi adalah 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita
melihat bintang kembar pada malam hari, maka sebetulnya itu bukanlah cahaya
bintang kembar saat itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya
lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau
kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat
yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang
kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata
dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang tersebut.
Ternyata bumi
kita ini bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sangat
kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100
tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang
berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya.
Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang berjarak 10 milyar tahun
cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir debu di padang pasir alam semesta
raya.
Jadi, manusia
adalah debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi
Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit
pertama, karena langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu astronomi hanya
mengetahui langit itu satu, tapi al-Quran mengatakan langit itu ada tujuh, karena
menurut al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak
bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu
bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6)
Sudah
sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama adalah debunya
langit kedua, karena langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan
langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit
kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya selalu tak berhingga
kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak
berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh
dibandingkan langit pertama.
Jadi, langit
pertama adalah debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga,
seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh
isinya hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah
cara al-Quran menggiring pemahaman kita tentang makna Allahu Akbar. Semestinya
menurut al-Quran, bahwa belajar mengenal Allah itu adalah dari seluruh
ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha Besarnya Dia,
betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup
hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa yang sesungguhnya.
Bayangkanlah betapa Rasulullah
melakukan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke
langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak?
Kalaupun badan Rasulullah diubah
menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4
tahun cahaya, maka Rasulullah membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang
Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10
tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar
tahun. Sepertinya Rasulullah tidak melewati ruang angkasa,
melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa)
tetapi memahami semua itu. Di manakah itu?
Ternyata langit kedua terhadap langit
pertama tidak bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah).
Sering kita berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan
malaikat Jibril menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga,
kemudian bertemu langit yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di
situ ada pintunya dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad
ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan
Nabi Muhammad bahwa akan bertemu dengan Allah. Kalau begitu, berarti Allah itu
jauh sekali. Padahal di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan
Nabi Muhammad mengetahui itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16)
Bahkan
dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 115)
Timur dan Barat
milik Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah,
karena Allah sedang meliputi kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu.
Jadi untuk bertemu Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah
ke Sidratil Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, karena Allah sudah meliputi
Rasulullah, juga meliputi kita semua di manapun kita berada.
Isra’ Mi’raj
itu sebetulnya bertujuan membawa Rasulullah ke satu posisi yang paling tinggi
untuk memahami betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu?
Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’
Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik terendah perjuangannya yang paling
sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat
itu justru Allah mewafatkan paman Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri
Rasulullah (Khadijah). Hal ini bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh
Allah, karena memang tak ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini.
Semuanya itu
justru terjadi pada saat Rasulullah berada pada titik nadir perjuangannya.
Beliau berharap memindahkan front syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if).
Beliau berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi
beliau dilempari batu sampai berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa
kembali semangat beliau, yaitu dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau
adalah utusan Allah,” mungkin seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah
melalui peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.
Ketika
Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik
balik perjuangannya, yaitu beliau bersama pengikutnya hijrah ke Madinah,
kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota Mekkah.
Peringatan :
Peringatan :
- Kisah isra' dan mi'raj Nabi adalah benar karena yang memberitakannya adalah Al-Quran kitab suci kita
- Kisah mi'raj Nabi adalah benar walau tidak kasat oleh logika kita sebab dalam agama kebenaran yang dipakai adalah kebenaran wahyu bukan akal yang dieksprimen dulu , wahyu lebih tinggi dari logika
- kebenaran isra' dan mi'raj nabi wajib di yakini dan adapun caranya Nabi muhammad dan bagaimana atau kaifiyyat Nabi keatas langit ke 7 sampai sidrotul muntaha tidak menjadi kewajiban mengetahuinya . yang penting percaya dan yakin didalam hati adapun cara yang ril dan sebenarnya wallohua'lam sebab banyak pendapat paradikma islam dalam hal ini.
- Logikanya isra' itu benar dan logis sekali ,seperti ini . jika Nabi Muhammad adalah milik Allah dan langit serta alam ini milik Allah dan dalam kondisi ini Allah yang menghendaki so , apa susahnya ?. Simplenya seperti ini . jika anda punya HP lalu kamu tarok dilantai terus mau kamu pindahkan ke kantong , kelemari , keatas rak buku . gak susahkan ? kenapa karena pemilik HP adalah anda . coba kalau teman anda yang punya ? mana bisa kamu geser kemana sesuka hati kamu .
Demikianlah artikel isra' mi'raj .yang kami kumpulkan dari berbagai
sumber .Semoga manfaat buat sehabat dan teman sekalian . Allah yang Maha Tahu
Posting Komentar